Artificial Intelligence Untuk Kemanusiaan

Des 14, 2023

Setiap tahun, menjelang ulang tahun kemerdekaan, Presiden menyampaikan pidato kenegaraan di depan Parlemen. Pidato Presiden tentu wajar selalu berisikan keberhasilan pemerintahannya, lengkap dengan capaian angka statistik yang selalu impresif. Tantangan, apalagi kegagalan, kadang dicantumkan, tetapi seringkali tertutupi dengan baik, tersamar, dengan kata-kata kias atau bersayap, bahwa kegagalan capaian terkait dengan masalah global, bukan masalah kinerja sendiri. Ketika mendengar atau membaca pidato kenegaraan, kita kerap tidak menemui logat, gaya, dan kepribadian Presiden. Presiden Soeharto, Habibie, Gus Dur (Abdurrahman Wahid), Megawati, SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), maupun Jokowi tersembunyi dalam pidato kenegaraan yang kaku dan lurus tanpa emosi. Yang lebih jujur, blak-blakan, dan mencerminkan kepribadiannya, mungkin hanya Soekarno yang biasanya meledak-ledak, dan dalam sejumlah hal Gus Dur, dengan kebesaran visi dan sisipan banyolannya yang khas. Banyak komedian kita, terutama yang eksis di media sosial, bisa mencirikan kepribadian khas dari beberapa presiden kita, akan tetapi sebelum UU ITE diubah lebih masuk akal, rasanya banyak kemalasan dari mereka, juga kita, untuk berurusan dengan penegak hukum, kalau kita mengulang guyonan mereka (para Presiden, red). Sekarang ini pendukung Presiden atau bahkan banyak pejabat tinggi, sering tipis kuping dan hilang sense of humor-nya kalau suatu guyonan di ranah publik dirasakan mengurangi martabatnya atau kesempatan untuk dipilih lagi. Kita sering mendengar bahwa Presiden tidak selalu, bahkan seringkali tidak membuat sendiri pidato kenegaraannya. Ada speech writer yang selalu siap membantu membuatkannya. Mungkin Presiden memberikan garis besar apa yang ingin disampaikannya. Ada yang ikut membaca (review) sebelumnya, dan menambah menguranginya untuk lebih sesuai dengan citra yang diinginkannya. Dalam beberapa cerita, sejumlah Menteri diberi tugas untuk menulis atau paling tidak mengkoordinasikannya dengan sejumlah penulis yang paham bidangnya masing-masing. Ada suatu cerita di mana menjelang ulang tahun kemerdekaan, ketika Presiden sedang menyiapkan pidatonya, Menteri yang ditugasi mendadak menghilang cuti, sehingga terpaksa seorang Menteri lainnya ditunjuk untuk menggantikannya menulis dan mengkoordinir naskah pidato kenegaraan Presiden, padahal waktunya hanya tersisa satu-dua hari sebelum Presiden pidato di Parlemen. Terbayang kepanikan dan kegaduhan internal yang terjadi. Pidato kenegaraan yang dibuat oleh speech writer bukan hal yang tabu. John Kennedy, yang dianggap sebagai salah satu presiden terbaik Amerika Serikat juga menggunakan bantuan speech writer. Ted Sorensen, pengacara, penulis dan penasihat presiden, adalah orang yang paling menonjol dalam membantu Kennedy menuliskan pidatonya. Bahkan pidato pelantikannya, di mana Kennedy membuat pernyataan terkenalnya “Ask not what your country can do for you; ask what you can do for your country” ikut ditulis oleh Sorensen. Sorensen juga membantu Kennedy pada waktu membuat pidato terkenalnya tahun 1962: “We choose to go to the Moon”. Presiden Barack Obama yang juga terkenal dengan sejumlah pidatonya, antara lain: “Yes we can”, juga banyak dibantu oleh tim pembuat pidato Gedung Putih yang dipimpin oleh Jon Favreau dan kemudian Cody Keenan. Kita tidak tahu siapa pembuat pidato pemimpin Tiongkok Xi Jinping, walaupun media barat pernah menulis bahwa Wang Huning, teoris dan akademik Tiongkok, adalah salah satunya yang pernah memerankan fungsi itu. Ke depan, ketergantungan para kepala negara di manapun di dunia kepada speech writer rasanya tidak akan terjadi lagi. Dengan Presiden RI yang semakin muda, maka keterbiasaannya menggunakan teknologi maju berbasis digital makin memungkinkan Presiden kita membuat sendiri pidatonya langsung dari laptop atau ipadnya. Artificial Intelligence (AI) dengan sejumlah opsi aplikasi sangat memungkinkan itu dilakukan, dengan menyajikan data dan informasi yang benar menggambarkan kinerja pemerintahannya, dan juga masalah dan tantangan yang dihadapi. AI juga bisa menutupi sejumlah kegagalannya dalam menepati janji-janji dalam sumpah jabatan maupun janji-janji semasa proses pemilihan umum yang lalu dengan sejumlah fakta, asumsi atau impresi yang sengaja dibentuk. AI juga bisa diprogram sedemikian rupa untuk menampilkan fakta yang hanya berisikan hal-hal baik yang dicapai, dan menyembunyikan kegagalan dalam pemerintahannya. Pidato juga bisa dibuat dengan indah, dengan mengutip sajak-sajak terkenal dari sastrawan kelas pemenang hadiah Nobel. Hanya saja, mereka yang melek teknologi informasi dengan mudah dapat menggunakan program serupa untuk memeriksa apakah ada kebohongan, kekeliruan yang disengaja, fabrikasi atau penyesatan dalam laporan tersebut. Dalam hitungan detik, bantahan dan koreksi atas laporan kemajuan sudah bisa beredar di media resmi maupun media sosial. Khalayak, saat ini sudah bisa melihat mana loyang mana besi. Kemajuan pesat teknologi bahkan akan semakin akurat menganalisa lebih jauh mutu dari besi yang dari tampak luarnya seperti besi yang murni. Masa itu ada di depan mata, dalam hitungan bulan atau tahun yang pendek. Saya membayangkan, dengan menggunakan kata-kata kunci sederhana, seorang speech writer pidato bisa membuat pidato Presiden atau pejabat tinggi dengan nyaris sempurna. Misalnya, tuliskan: (a) kenaikan jumlah pajak yang dibayarkan oleh wajib pajak selama tahun laporan (sudah pasti tinggi karena rasio pajak secara nasional kita masih rendah), (b) berapa tingkat GDP kita dibandingkan dengan negara-negara lain (sudah pasti tinggi karena kita memiliki semua kemampuan untuk meningkatkan GDP, termasuk bonus demografi, sumber daya alam yang kaya, dan tingkat penghasilan per kapita yang masih sangat bisa meningkat), (c) berapa pertambahan jalan tol dan jalan provinsi, pelabuhan, bendungan, dan tingkat akses listrik dan air penduduk Indonesia selama tahun laporan (sudah pasti semakin membaik karena anggaran infrastruktur kita besar), (d) berapa produksi beras di daerah lumbung padi kita (sudah pasti tinggi juga dengan intensifikasi pertanian dan subsidi pupuk kepada petani), (e) berapa pertumbuhan ekspor kita (sudah pasti bagus juga angkanya karena kita banyak menggantikan negara lain yang gagal menegakkan kemampuan rantai pasok mereka yang terganggu resesi, pandemi dan perang), (f) berapa jumlah murid yang memasuki sekolah dasar, menengah, menengah atas dan universitas yang menerima beasiswa (sudah pasti tinggi juga karena jumlah kelahiran kita lebih tinggi dari angka kematian dan anggaran pendidikan dalam APBN kita terhitung yang tertinggi). Demikianlah, banyak lagi pertanyaan berikutnya yang bisa menjadi dasar suatu pidato kemajuan di segala bidang yang terkesan impresif. Sebaliknya, para pemerhati yang kritis dan mungkin politisi oposisi bisa menanyakan kepada aplikasi AI yang sama pertanyaan dengan kata-kata kunci sebagai berikut: (a) bagaimana capaian indeks persepsi korupsi Indonesia menurut berbagai sumber independen yang melakukan pengukuran indeks pesepsi korupsi secara global (sudah tentu masih buruk dibandingkan negara lain yang sudah makin sadar bahwa korupsi menghalangi kemajuan negara demokrasi), (b) berapa besar anggaran belanja kita untuk sistem pertahanan yang mampu melindungi setiap jengkal tanah dan laut kita dibandingkan dengan negara lain yang tingkat ekonominya semaju kita (sudah tentu minim karena tanah dan laut kita luas dan sistem pertahanan dengan persenjataan modern sebagian besar masih harus diimpor dari negara lain), (c) apakah sistem pendidikan nasional kita sudah mampu untuk menghasilkan lulusan yang mampu bersaing secara global (sudah tentu belum karena sistem pendidikan kita masih tidak mampu menjawab kebutuhan industri pengguna lulusan secara merata di seluruh wilayah kita, utamanya tingginya jarak mutu pendidikan antara Jawa dan luar Jawa), (d) apakah akses pendidikan, layanan kesehatan, sambungan internet, air bersih, aliran listrik, dan jalan di Indonesia sudah sebaik negara lain dengan tingkat perekonomian yang sebanding (tentu tidak karena jumlah penduduk yang tersebar di wilayah geografis yang luas belum memungkinkan akses tersebut menyaingi negara lain yang tingkat perekonomiannya sebanding), (e) apakah reformasi birokrasi kita sudah menghasilkan birokrasi yang efektif, efisien dan gesit (tentu belum karena reformasi birokrasi kita gagal mencapai targetnya dengan begitu banyak masalah politis yang memberatkannya), (f) apakah sistem peradilan kita sudah bisa menghasilkan tegaknya rule of law dan keadilan sebagaimana diharapkan pemodal dan masyarakat umum (tentu belum karena reformasi hukum dan institusi penegak hukum kita masih jauh dari capaian yang ditargetkan). Demikian, sederet pertanyaan lain yang menyudutkan dan membimbing AI untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis dan bahkan sinikal tersebut bisa menghasilkan kesimpulan yang bisa membimbing khalayak untuk berkesimpulan lain. Sekali lagi, AI akan semakin pintar. Kata kunci yang meminta hasil baik akan disandingkan dengan hasil lain sebagai pembanding. Kata kunci yang ingin mendapatkan hasil buruk juga disandingkan dengan hasil lain yang mengatakan sebaliknya. Media terutama media sosial sangat krusial mengolah semua data dan informasi yang saling bertebaran, saling mendukung, dan bahkan saling bertentangan di ruang publik. Mesin-mesin AI yang semakin canggih memberi data dan informasi yang lebih akurat diyakini akan menghasilkan kebenaran yang ditransparansikan secara luas. Kecepatan kerja mesin-mesin ini semakin baik, sehingga bisa mencegah memburuknya keadaan karena data dan informasi yang salah. Bayangkan, kalau ada data dan informasi yang difabrikasi yang diterima suatu negara besar bahwa negara besar lainnya sedang meluncurkan roket berkepala nuklir ke ibu kotanya. Kalau mesin AI mereka tidak bisa dengan super cepat mendeteksi bahwa data dan informasi tersebut palsu, maka mereka bisa terjebak, dan memberi reaksi cepat yang salah, dengan meluncurkan roket kepala nuklir mereka ke negara lain yang dianggap menyerang terlebih dahulu tersebut. Akibatnya balas membalas kiriman roket kepala nuklir akan membinasakan dua negara, bahkan mungkin memicu perang nuklir global. Seluruh dunia bisa jadi akan kiamat. Imajinasi apa yang terjadi di bidang pemerintahan tersebut sangat bisa terjadi di dunia bisnis. Bayangkan kalau mesin-mesin AI dirancang untuk menjawab secara benar atau sebaliknya secara salah pertanyaan-pertanyaan berikut: (a) berapa pertumbuhan aset perusahaan 3 tahun terakhir, (b) berapa jumlah kewajiban keuangan perusahaan 3 tahun terakhir, (c) berapa jumlah hutang pajak terhutang yang masih dalam perselisihan dengan negara, (d) berapa tingkat pinjaman yang bermasalah saat ini, (e) bagaimana rasio-rasio keuangan perusahaan saat ini untuk membuktikan kesehatan keuangan perusaaan, (f) berapa keuntungan bersih perusahaan yang dapat dibagikan sebagai dividen tahun ini, (g) berapa persen dari keuntungan perusahaan 3 tahun terakhir yang dibayarkan sebagai licence, technical assistance fee atau pembayaran lain sebagai dividen terselubung kepada pemegang saham utama, (h) berapa jumlah remunerasi dan tantiem kepada direksi dan komisaris perusahan tahun ini, (i) mana saja transaksi perusahaan yang merupakan transaksi terafiliasi atau mengandung unsur benturan kepentingan dengan kepentingan perusahaan, (j) berapa jumlah impairment yang seharusnya dilakukan tahun buku ini, (k) seberapa robust sistem monitoring dan mitigasi risiko perusahaan, (l) bagaimana tingkat GCG dan ESG perusahaan saat ini dibandingkan dengan perusahaan dalam industri sejenis di ASEAN, (m) apakah perusahaan pernah melanggar hukum atau kontrak yang membahayakan eksistensi dan kemampuan keuangannya, (n) apakah perusahaan sedang terlibat dalam suatu sengketa yang bisa membahayakan eksistensi dan kemampuan keuangannya. Juga berderet pertanyaan lain bisa diajukan, yang memberi jawaban sesuai dengan bagaimana mesin-mesin AI dan aplikasinya dirancang. Bahaya yang ditimbulkan dari penyalahgunaan sistem data dan informasi tersebut setara kiranya dengan perang nuklir yang diimajinasikan di atas. Suatu kegagalan sistem perekonomian yang dapat menimbulkan resesi ekonomi. Kalau kita lebarkan permasalahan di atas ke bidang-bidang lain, seperti pendidikan, layanan kesehatan, pembangunan dan penggunaan infrastruktur, sistem pemilihan umum, pembagian distribusi keuangan pusat-daerah, pemberian perizinan sumber daya alam, pengawasan sistem keuangan, manajemen pencemaran lingkungan, penghitungan emisi karbon, pengelolaan dana publik, penanganan konservasi lingkungan, pengelolaan pemberdayaan masyarakat adat, pemberian hak atas tanah dan berderet bidang dan permasalahan lain, maka AI akan bisa memajukan kita semua, atau sebaliknya menjerumuskan kita ke jurang masalah yang dalam. Apakah AI dan aplikasi terkait dengan AI akan menghancurkan peradaban dan umat manusia? Mungkin ya, tetapi lebih mungkin untuk memajukan kita, karena akal sehat akan selalu memenangi peperangan panjang. Contohnya banyak, di mana dunia sering tenggelam dalam krisis luar biasa, misalnya perang dunia pertama, perang dunia kedua, perang dingin, resesi panjang, dan sejumlah pandemi, tetapi akhirnya bumi akan berputar seperti biasa di porosnya dengan semua kenormalan kehidupan di dalamnya. Hukum, etika, dan kemanusiaan perlu mengiringi setiap perkembangan AI dan semua aplikasi yang dibuat berdasarkan AI. Kaidah hukum, etika dan kemanusiaan yang baru perlu dipikirkan kembali, didialogkan, dan ditulis kembali untuk menjadi pegangan umat manusia di manapun berada untuk memegang kendali atas perkembangan teknologi ini, bukan sebaliknya, di mana AI justru yang mengendalikan manusia dalam menentukan keputusan-keputusan penting. Sebagai alat bantu, teknologi ini sangat penting, bahkan dalam membantu manusia dalam menyelamatkan nyawa, memberi nilai tambah bagi kehidupan yang lebih baik, dan merawat kebudayaan dan peradaban. Baru-baru ini, sejumlah orang ternama di bidang IT seperti Steve Wozniak, Elon Musk dan 998 orang lainnya menulis surat terbuka yang meminta pengembangan AI di luar chatbot sementara ditunda. Surat terbuka tersebut meminta agar para pembuat advanced AI “are locked in and out-of-control race to develop and deploy ever more powerful digital minds that no one – not even their creators – can understand, predict or reliably control.” Surat terbuka ini muncul sebagai reaksi atas diperkenalkannya ChatGPT chatbot yang baru, yaitu GPT-4, yang merupakan teknologi terbaru di bidang ini. Kita tidak tahu persis motivasi pembuat surat terbuka itu, apakah karena persaingan usaha semata atau karena betul berdasarkan kengerian atas masa depan teknologi maju yang tidak bisa kita kendalikan sendiri. Pada waktu bom nuklir ditemukan dan digunakan secara mengerikan di Hiroshima dan Nagasaki untuk menghentikan kebrutalan Perang Dunia II, pro dan kontra senjata nuklir kemudian masih terjadi sampai detik ini, tetapi tidak ada lagi senjata nuklir digunakan dalam banyak perang sesudahnya karena adanya kengerian bahwa seluruh dunia sudah pasti bisa hancur bersama.