Perjanjian Tidak Berbahasa Indonesia Tetap Sah

Des 14, 2023

Tidak adanya perjanjian yang dibuat dalam bahasa Indonesia tidak dapat membatalkan perjanjian yang ditulis dalam bahasa asing/bahasa Inggris. UU Bahasa tidak mengatur akibat hukum apapun. Suatu perjanjian—menurut Pasal 1313 KUH PERDATA adalah perbuatan seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih. Perjanjian ada yang dibuat dengan cuma-cuma. Ada juga perjanjian yang dibuat atas beban tertentu seperti dimaksud oleh Pasal 1314 KUH Perdata. Perjanjian dengan cuma-cuma berisi pemberian keuntungan kepada pihak lain oleh satu pihak tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. Di sisi lain, isi perjanjian atas beban mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata menyatakan, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Rumusan ayat 1 Pasal 1338 KUHPerdata tersebut menunjukkan bahwa orang boleh membuat perjanjian apa saja selama dibuat secara sah. Kata “semua perjanjian” mengandung asas kebebasan membuat perjanjian atau asas kebebasan berkontrak. Namun, hanya perjanjian yang dibuat secara sah saja yang mengikat para pihak pembuatnya seperti undang-undang. Syarat sah suatu perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata ada empat. Keempat syarat itu harus dipenuhi agar suatu perjanjian sah dan mengikat para pihak pembuatnya. Syarat pertama, sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Pasal 1321 KUHPerdata menyatakan, “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”. Selanjutnya Pasal 1322 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1328 KUHPerdata mengatur tentang kekhilafan, paksaan, dan penipuan. Syarat kedua, cakap untuk membuat suatu perjanjian. Pasal 1330 KUHPerdata menentukan orang-orang yang belum dewasa dan mereka yang ditaruh di bawah pengampuan tidak cakap membuat perjanjian. Syarat ketiga, suatu hal tertentu. Prof. Subekti, S.H. dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata menyatakan, “Yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu. Syarat ini perlu, untuk dapat menetapkan kewajiban si berhutang, jika terjadi perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian, paling sedikit harus ditentukan jenisnya”. Pasal 1332 KUHPerdata juga menentukan bahwa, “Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok perjanjian”. Syarat keempat, suatu sebab yang halal. Undang-undang tidak mengatur apa yang dimaksud dengan suatu sebab yang halal. Namun, Pasal 1337 KUHPerdata mengatakan, “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”. (Eene oorzaak is ongeoorloofd, wanneer dezelve bij de wet verboden is, of wanneer dezelve strijdig is met de goede zeden, of met de openbare orde). Oorzaak atau sebab/kausa dalam hukum perjanjian adalah isi dan tujuan suatu persetujuan yang menyebabkan adanya persetujuan itu. Makna ini menurut Prof.Dr.Wirjono Prodjodikoro, S.H. dalam bukunya Azas-Azas Hukum Perjanjian. Makna lain dari Prof. Subekti, S.H. dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata menyatakan, “Selanjutnya undang-undang menghendaki untuk sahnya suatu perjanjian harus ada suatu oorzaak (causa) yang diperbolehkan. Secara letterlijk kata ‘oorzaak’ atau ‘causa’ berarti ‘sebab’, tetapi menurut riwayatnya, yang dimaksudkan dengan kata itu ialah ‘tujuan’, yaitu apa yang dikehendaki oleh kedua pihak dengan mengadakan perjanjian itu....Dengan kata lain, causa berarti : isi perjanjian itu sendiri”. Syarat pertama dan kedua dari Pasal 1320 KUHPerdata merupakan persyaratan bagi subjek perjanjian, yakni pihak-pihak yang membuat perjanjian. Syarat-syarat itu disebut dengan syarat subjektif. Apabila salah satu dari syarat tersebut tidak dipenuhi, maka perjanjian dapat dimintakan batal (vernietigbaar) ke Pengadilan. Perjanjian menjadi batal sejak dinyatakan batal oleh Hakim (ex nunc). Syarat ketiga dan keempat dari Pasal 1320 KUHPerdata merupakan persyaratan untuk objeknya, yaitu perjanjian itu sendiri. Syarat-syarat tersebut disebut syarat objektif. Apabila salah satu dari syarat tersebut tidak dipenuhi, maka perjanjian dimaksud batal demi hukum (van rechtswege nietig). Kebatalannya berlaku sejak semula (ex tunc) seperti tidak pernah ada perjanjian. Bahasa Indonesia dalam Perjanjian Pasal 31 UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (UU Bahasa) menyatakan, “(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia, atau perseorangan warga negara Indonesia; (2) Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris”. Pasal ini mewajibkan digunakannya bahasa Indonesia dalam perjanjian yang melibatkan pihak Indonesia. Di sisi lain, bahasa nasional dari pihak asing atau bahasa Inggris juga digunakan. Maka, perjanjian yang melibatkan pihak Indonesia dan pihak asing—menurut Pasal 31 ayat 2 UU Bahasa—harus dibuat/ditulis dalam bahasa Indonesia dan juga dalam bahasa asing/bahasa Inggris. Semua naskah perjanjian tersebut sama aslinya seperti Penjelasan Pasal 31 ayat 2 UU Bahasa, “Dalam perjanjian bilateral, naskah perjanjian ditulis dalam bahasa Indonesia, bahasa nasional negara lain tersebut, dan/atau bahasa Inggris, dan semua naskah itu sama aslinya”. Kewajiban menggunakan bahasa Indonesia dalam suatu perjanjian tertulis itu merupakan penyimpangan dari asas kebebasan berkontrak yang dimaksud Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata. Namun, apa akibat hukumnya apabila ketentuan dalam Pasal 31 UU Bahasa tidak dipenuhi? Penulis menilai tidak adanya perjanjian yang dibuat dalam bahasa Indonesia tidak dapat membatalkan perjanjian yang ditulis dalam bahasa asing/bahasa Inggris. Tidak ada satu ketentuan pun dalam UU Bahasa yang mengaturnya. Pendapat ini jelas terlihat dari kalimat terakhir pada Penjelasan Umum UU Bahasa, “Undang-Undang ini mengatur tentang berbagai hal yang terkait dengan penetapan dan tata cara penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan, termasuk di dalamnya diatur tentang ketentuan pidana bagi siapa saja yang secara sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang ini”. Berbagai undang-undang lain—seperti Pasal 1851 KUHPerdata, Pasal 1682 KUHPerdata, dan Pasal 9 UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternative Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase) —yang mengharuskan persyaratan formal suatu perjanjian mengatur akibat hukum jika tidak dipenuhi. Pasal 1851 KUHPerdata menyatakan, “Perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan, atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara. Perjanjian ini tidaklah sah, melainkan jika dibuat secara tertulis”. Menyimpang dari asas kebebasan berkontrak, Pasal 1851 KUHPerdata mensyaratkan perjanjian perdamaian dibuat secara tertulis. Apabila syarat tersebut tidak dipenuhi—dalam arti perjanjian perdamaian tidak dibuat secara tertulis—maka perjanjian tersebut tidak sah. Selanjutnya Pasal 1682 KUHPerdata berbunyi, “Tiada suatu hibah, kecuali yang disebutkan dalam Pasal 1687, dapat, atas ancaman batal, dilakukan selainnya dengan suatu akta notaris, yang aslinya disimpan oleh notaris itu”. Pasal ini mengharuskan hibah dilakukan dengan suatu akta notaris. Apabila tidak dilakukan dengan akta notaris maka hibah tersebut batal. Terakhir, UU Arbitrase mensyaratkan perjanjian memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibuat secara tertulis dan berisi masalah yang dipersengketakan. Apabila syarat tersebut tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Pasal 9 ayat 1, ayat 3 huruf a, dan ayat 4 UU Arbitrase menyatakan, “(1) Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak; (3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat : a. Masalah yang dipersengketakan; (4) Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) batal demi hukum”. Perjanjian yang ditulis juga dalam bahasa asing hanya dalam hal perjanjian itu melibatkan pihak asing. Pasal 26 ayat 3 dan ayat 4 Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia (Perpres Bahasa Indonesia) mengatur tentang bagaimana hubungan antara Perjanjian yang dibuat dalam bahasa Indonesia dan yang ditulis dalam bahasa asing. Pasal-pasal itu selengkapnya berbunyi, “(3) Bahasa nasional pihak asing dan/atau bahasa Inggris sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai padanan atau terjemahan bahasa Indonesia untuk menyamakan pemahaman nota kesepahaman atau perjanjian dengan pihak asing; (4) Dalam hal terjadi perbedaan penafsiran terhadap padanan atau terjemahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), bahasa yang digunakan ialah bahasa yang disepakati dalam nota kesepahaman atau perjanjian”. Pasal 26 ayat 3 Perpres Bahasa Indonesia dengan tegas menyatakan bahasa nasional pihak asing dan/atau bahasa Inggris sebagai padanan atau terjemahan bahasa Indonesia. Oleh karena itu, menerjemahkan perjanjian yang ditulis dalam bahasa asing/bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia—oleh penerjemah tersumpah—membuat keberadaan perjanjian itu dalam bahasa Indonesia diakui. Jadi, perjanjian yang ditulis dalam bahasa asing dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia telah memenuhi ketentuan dalam Pasal 31 UU Bahasa. Keberadaan perjanjian tertulis dalam bahasa asing/bahasa Inggris yang melibatkan pihak Indonesia dan pihak asing diakui dan sesuai dengan ketentuan dalam UU Bahasa. Namun, mari kembali pada empat syarat sah perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata. Syarat-syarat dalam Pasal 1320 KUHPerdata itu yang digunakan untuk menilai keabsahan suatu perjanjian. Apabila salah satu syarat tidak dipenuhi, maka perjanjian yang dinilai tersebut yang dinyatakan batal atau batal demi hukum.